Berdasarkanhadits di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya beribadah atau ketaatan kepada Allah mendapatkan pahala. Ada juga kemungkinan bahwa ada orang berbuat amal kebaikan, tetapi ternyata tidak diterima oleh Allah. Hal ini diperkuat dengan do’a yang biasa diucapkan oleh Nabi saw. “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari
AtributAllah tidak berubah sampai selama-lamanya. Contoh atribut Allah adalah kasih-Nya, kesetiaan-Nya, kemahakuasaan-Nya, dan sebagainya. Supaya kita bisa menikmati atribut Allah dalam ibadah, ada dua sikap yang harus kita miliki ketika datang beribadah. Baca juga teks khotbah ini : Lebih Nikmat.
Ya taubat harus kita lakukan sekarang juga. Tidak perlu menunggu Ramadan. Tidak perlu menunggu bulan puasa. Tidak perlu menunggu semerbak shaum menyelimuti manusia. dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147).
Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd Hỗ Trợ Nợ Xấu. 9 FOLLOW untuk mengikuti artikel-artikel mencerahkan Follow Us Mengapa dalam nalar-keimanan kita terpatri pemahaman bahwa praktik-praktik ibadah dilakukan karena perintah Allah dan dimaksudkan untuk menyembah-Nya? Itu terjadi, karena mispersepsi terhadap firman-firman Allah yang secara literal kurang lebih mengungkapkan demikian. Sehingga, problematika itu menjadi bagian integral dari terbentuknya nalar-keimanan yang rancu. Praktik-praktik peribadatan yang selama ini kita lakukan, seperti puasa, salat, zakat, haji, masih terkonstruksi dalam pengertian bahwa itu semua dilakukan karena perintah Allah dan untuk menyembah-Nya. Tak sedikitpun terbersit dalam nalar-keimanan kita bahwa, Allah sebagai Zat Mahakuasa tidak membutuhkan ibadah dan sesembahan apapun. Bagaimana mungkin Zat Yangmahakuasa meminta sesuatu dari ciptaan-Nya? Berkebalikan dari itu, justru banyak sinyalemen yang memberi pertanda bahwa semua ibadah dalam doktrin Islam berdimensi kemanusiaan antroposentrisme, bukan berdimensi ketuhanan/teosentrisme Arkoun, 1993. LIKE untuk mengikuti artikel-artikel mencerahkan Sebab itu, peribadatan dalam Islam tidak ditujukan untuk menciptakan muslim yang saleh secara ritual dan saleh terhadap Allah an sich. Peribadatan seharusnya dilakukan seorang untuk menghasilkan kesalehan privat dan sosial, karena demikian itulah substansi peribadatan yang dimaksudkan dan diperintahkan Allah. Peribadatan yang berdimensi antroposentris memiliki arti bahwa semua peribadatan tidak satupun dimaksudkan untuk menyembah Allah, apalagi dengan pemahaman bahwa Allah mempunyai kepentingan terhadap ibadah tersebut. Dimensi antroposentrisme ibadah, hanya dimaksudkan untuk kepentingan umat manusia semata, supaya mereka mendapat ketenangan setelah keruhnya kehidupan dunia. Sebaik-baiknya implementasi ibadah juga harus tertransformasi kepada dimensi sosial yang lain. Jadi, ibadah tidak hanya untuk kepentingan privat-antroposentris, melainkan juga untuk kepentingan sosial-antroposentris. Problematika Teks Mengapa dalam nalar-keimanan kita terpatri pemahaman bahwa praktik-praktik ibadah dilakukan karena perintah Allah dan dimaksudkan untuk menyembah-Nya? Itu terjadi, karena mispersepsi terhadap firman-firman Allah yang secara literal kurang lebih mengungkapkan demikian. Sehingga, problematika itu menjadi bagian integral dari terbentuknya nalar-keimanan yang rancu. Banyak sekali firman-firman Allah yang dimispersepsi sehingga dampaknya tidak dirasakan secara substansial dalam dimensi antroposentris. Misalnya firman-firman Allah seperti “tidak Ku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku 5156, atau “manusia harus menyembah Allah yang telah menciptakannya dan manusia-manusia sebelumnya supaya ia bertakwa 221, atau “sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan selain-Nya 759. Hadis Qudsi yang mengungkapkan tujuan diciptakan manusia adalah untuk mengonfirmasi eksistensi Allah, juga turut mengesankan seakan-akan Allah memang ingin disembah. Ibrahim Madkour, dalam catatan Boisard pernah mengutip hadis qudsi itu “Aku ini dulunya sebagai suatu harta simpanan yang tak diketahui, kemudian Aku ingin agar dikenal.” Untuk maksud itu, Allah menciptakan manusia, maka manusia mengetahui-Nya Boisard, 1980 Sesungguhnya teks-teks itu tidak problematis. Problematika terjadi akibat mispersepsi terhadap teks-teks itu. Apa dampak mispersepsi dari teks-teks itu? Salah satu hal fundamental yang dampaknya dirasakan secara langsung dalam kehidupan kita adalah anggapan bahwa ibadah dilakukan karena perintah Allah dan untuk menyembah-Nya. Dalam dataran itulah, ibadah hanya berdimensi teosentrisme. Padahal, tujuan fundamental ibadah supaya manusia mendapat ketentraman bagi dirinya privat-antroposentris dan bagi orang lain di sekelilingnya sosial-antroposentris. Konfirmasi Teks Di balik perintah Allah agar menusia beribadah untuk menyembah-Nya, sesungguhnya tersirat penekanan bahwa ibadah sesungguhnya untuk umat manusia itu sendiri. Firman-firman Allah yang memerintahkan supaya kaum muslim beribadah, adalah firman yang berfungsi sebagai konfirmasi bahwa kaum muslim sesungguhnya membutuhkan dimensi spiritualitas dan religiositas dalam kehidupan. Semua itu hanya akan ditemukan dengan cara menyembah Allah sebagai harapan kehidupan yang lebih baik di dunia maupun setelah dunia. Jadi, kata perintah amar yang menyatakan Allah meminta kaum muslim menyembah-Nya, tidak berarti Allah memerintah Ia disembah, melainkan mengonfirmasi bahwa kesadaran untuk menyembah Allah akan menguntungkan. Dari pemahaman itu, sesungguhnya sangat merugilah mereka yang tidak menyembah Allah. Menyembah Allah, tidak berarti sesembahan itu untuk Allah, melainkan demi kepentingan kaum umat manusia itu sendiri Wahid, 1997. Ini senada dengan tujuan fundamental ibadah dalam doktrin Islam. Keadilan Allah, justru terletak pada saat Ia tidak membutuhkan ibadah dari ciptaan-Nya. Cukuplah setiap perintah ibadah untuk kepentingan umat itu sendiri. Dengan demikian, kesadaran untuk beribadah bukan lagi karena “paksaan” perintah Allah tapi datang dari dorongan internal kita. Pemahaman bahwa ibadah untuk umat manusia itu sendiri, akan menimbulkan spirit dan rangsangan untuk lebih banyak lagi beribadah. Dengan demikian, kita diharapkan akan menemukan kedamaian privat dan memiliki etos transformasi sosial. Di situ juga tersirat pesan bahwa kita tidak bisa hanya berharap dari kerja-keras dan penalaran kita saja agar hidup ini lebih tentram. Dengan adanya kesadaran beribadah seperti itu, sesungguhnya terletak pengandaian bahwa setiap manusia membutuhkan harapan-harapan dan kedamaian dengan menyembah Allah. Jadi, Allah tidak butuh disembah, melainkan kita sendiri yang sesungguhnya butuh menyembah-Nya.
Ketahuilah, Allah Ta’ala tidak membutuhkan amal ibadah kita. Allah Ta’alamemerintahkan kita untuk menyembah-Nya, namun bukan karena Ia butuh untuk disembah. Allah berfirmanوَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku saja. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” QS. Adz Dzariat 56-58Kita beribadah atau tidak, kita melakukan amal kebaikan atau tidak, kita taat atau ingkar, kita maksiat atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh pada keagungan Allah Ta’ala. Andai seluruh manusia beriman dan bertaqwa, keagungan Allah tetap pada kesempurnaan-Nya. Andai semua manusia kafir dan ingkar kepada Allah, sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirmanيا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم وإنسكم وجنكم . كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم . ما زاد ذلك في ملكي شيئا . يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم . وإنسكم وجنكم . كانوا على أفجر قلب رجل واحد . ما نقص ذلك من ملكي شيئا“Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal samapi yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertaqwa, hal itu sedikitpun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” HR. Muslim, Allah Ta’ala tidak butuh terhadap ibadah kita. Lalu untuk apa kita berlelah-lelah, menghabiskan banyak waktu untuk beramal dan beribadah? Karena kita yang butuh untuk itu. Allah Ta’ala berfirmanإِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا“Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri” QS. Al Isra 7وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ“Dan barangsiapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri” QS. Luqman 12.Maka apa lagi alasan untuk enggan dan malas beribadah dan beramal? Bukankah itu untuk kita sendiri?sumber
allah tidak butuh ibadah kita